Beberapa waktu yang lalu, saya terkagum mendengar perkataan seorang tetangga mengatakan kepada anaknya, berusia 12-13 tahun, yang sedang berlatih memotret untuk pertama kalinya. Sang ibu memberi saran, “Bukan begini, foto yang bagus itu foto yang bercerita atau menceritakan sebuah kisah/cerita”
Terus terang saya tercengan dan sekaligus kebingungan mendengar perkataan tersebut. Pada saat yang bersamaan, saya juga sangsi apakah si anak memahami saran tersebut dengan baik.
Topik tentang foto bercerita merupakan topik “berat” karena berbau filosofis. Interpretasi terhadapnya akan sangat bersifat subyektif dan tidak memiliki standar yang pasti untuk dijadikan patokan. Topik yang satu ini lebih condong pada definisi fotografi sebagai “seni melukis” cahaya.
Pembahasan teori seperti ini akan bisa membuat dua fotografer kawakan sekalipun menghabiskan waktu seharian sekedar untuk berdebat dan bisa tetap tidak menemukan titik temu.
Itulah alasan mengapa banyak artikel di internet terkait bahasan ini bervariasi sekali. Tidak ada yang sama atau saling mendekati. Masing-masing memiliki argumen dan sisi pandangnya tentang apa itu foto bercerita dan bagaimana membuatnya.
Semua adalah karena hampir tidak mungkin mendapatkan konsensus umum untuk dijadikan teori standar. Itu juga landasan mengapa saya membuat sebuah tulisan berjudul “Foto bercerita : Mitos atau Fakta?”.
Saya tidak bisa 100% menerima pandangan bahwa sebuah foto bisa menceritakan sesuatu tanpa bantuan media lain, seperti teks atau foto lainnya.
Topik berat dan sulit dipahami karena menyangkut subyektivitas manusia.
Bisa bayangkan seorang anak yang baru belajar memegang kamera sudah diminta membuat foto yang bisa menceritakan sebuah kisah/cerita kepada yang melihat?
Pasti bingung.
Memang, pada dasarnya setiap foto menceritakan sesuatu (ide/kisah/cerita) kepada yang melihat
Saya sendiri memiliki sebuah pandangan terhadap sebuah foto.
Pada dasarnya, memang sebuah foto menceritakan sebuah ide, kisah, atau cerita kepada yang melihat. Baik foto tersebut diambil oleh seorang fotografer profesional atau orang yang baru belajar memotret, ia tetap bercerita.
Penjelasannya sebagai berikut
- seseorang memotret atau membuat foto sesuatu biasanya berlandaskan pada sebuah “ide” yang keluar dari benaknya ketika melihat sebuah obyek
- kemudian, ia merekam obyek tersebut (dengan cara dan pengetahuannya) untuk ditunjukkan (diceritakannya) kepada orang lain
Sesederhana apapun idenya, ia sudah berusaha menyampaikannya lewat fotonya.
Seorang penulis akan membagikan ide atau yang dirasakannya lewat teks, huruf, dan menyusunnya agar ide itu tersampaikan kepada orang lain. Seorang fotografer, pemotret memilih media yang berbeda, yaitu foto.
Contohnya saja, ketika seseorang melihat bunga dan merasa bunga tersebut cantik dan menarik, ia merasa perlu membagi apa yang dirasakannya kepada orang lain.
Ia pada dasarnya sudah mencoba bercerita.
Dari sudut pandang ini, foto yang dihasilkannya, sejelek apapun, sebenarnya sudah berusaha menyampaikan sebuah cerita, dari sudut pandang si pemotret.
Masalah yang dihadapi terangkum dalam sebuah pertanyaan, “Apakah cerita tersebut sudah sampai ke orang yang melihat?”
Sama persis dengan menulis atau berbicara, tidak semua cerita bisa tercerna dan tersampaikan dengan baik. Kesalahan dalam memilih diksi/kata bisa menyebabkan sesuatu yang diceritakan penulis atau pembicara tidak diterima dengan baik oleh pembaca atau pendengar.
Namun, tidak berarti bahwa mereka tidak sedang menceritakan sesuatu. Hal itu sudah dilakukan oleh penulis atau pembicara.
Begitu juga halnya dalam fotografi, seorang pemotret dengan kamera sudah mencoba menyampaikan sebuah ide/cerita/kisah dari apa yang dilihatnya lewat medium foto. Ketika yang melihat tidak memahami, bukan berarti ia tidak berusaha untuk bercerita.
Oleh karena itu setiap foto pada dasarnya harus dianggap sudah bercerita, terlepas dari yang melihat mengerti atau tidak ceritanya.
Mengapa seseorang tidak memahami cerita yang disampaikan sebuah foto?
Ada banyak alasan mengapa seseorang tidak paham ketika membaca sebuah buku. Padahal, menurut penulisnya, buku tersebut sudah dibuat dengan kemampuan terbaik.
Alasan-alasan itu bisa berupa perbedaan pengetahuan, minat, pendidikan, cara pandang, dan banyak lagi lainnya
Sebagai contoh dari alasan, buku teknik sipil tidak akan dipahami oleh seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah mengeyam pendidikan di bidang itu. Iya kan?
Begitu juga sebuah foto.
Ketika yang melihat tidak memahami cerita yang disampaikan lewat foto seorang fotografer, hal itu bisa diakibatkan hal yang sama.
Saya sendiri tidak bisa “memahami” cerita keindahan yang disampaikan oleh salah seorang fotografer jalanan (street photographer) terkenal Indonesia. Seberapapun keras mencoba, saya terbentur pada kenyataan bagi saya foto karyanya biasa saja, tidak ada keindahan sama sekali.
Saya juga gagal menangkap cerita kehidupan yang disampaikannya lewat fotonya.
Padahal, foto-foto itu mendapat ulasan “luar biasa” dari beberapa nama terkenal lainnya.
Situasinya tidak berbeda dengan kalau melihat lukisan surealis dari Pablo Picasso. Saya, dan banyak orang lain, tidak bisa memahami ide atau cerita apa yang disampaikannya. Lebih tidak mengerti lagi mengapa lukisannya dihargai begitu mahal.
Namun, ketidakmengertian saya tidak menafikan bahwa foto bercerita karya sang fotografer terkenal memang sudah mencoba menceritakan sesuatu kepada saya. Ketidakpahaman saya bukan berarti sang fotografer tidak mencoba menyampaikan sesuatu.
Saya merasa terkadang dunia fotografi adalah dunia yang dibuat-buat. Semua hal yang tidak penting dibuat menjadi lebih penting dari seharusnya. Yang tidak ada dibuat menjadi ada.
Semua sepertinya dibuatkan dasar teori agar yang dilakukannya menjadi terlihat lebih penting dari seharusnya. Sebuah teknik dasar dari marketing atau promosi bukan fotografi sendiri.
Teori foto bercerita sendiri, menurut saya, masuk dalam kategori tersebut.
Tidak ada foto yang bercerita karena “ide” atau “cerita” yang disampaikan kepada yang melihat tidak selalu sama. Pemirsa foto diperkenankan untuk membuat interpretasinya sendiri terhadap foto tersebut. Dengan kata lain, cerita itu tidak ada dan hanya ada dalam pikiran orang yang membuat dan melihat.
Namun, pada sisi lain, sebuah foto memang dari sisi pemotretnya pada dasarnya dilakukan untuk menceritakan sesuatu kepada pemirsanya, apakah itu tentang keindahan, kekacauan, peristiwa, khayalan, imajinasi. Terlepas dari ceritanya bisa diterima oleh pemirsa foto, foto itu alat bercerita seorang fotografer.
Jadi, foto bercerita atau menceritakan pada dasarnya ada dan tiada. Silakan memilih sudut pandang yang dikehendaki.
Terakhir, bingung membaca penjelasan ini? Rasanya sih Anda pasti agak atau sangat bingung. Itulah mengapa saya sebutkan bahwa dua orang fotografer kawakan saja bisa menghabiskan waktu seharian membahasnya.
Nah, sekarang bisa bayangkan si anak tetangga, yang usianya masih sangat muda dan baru belajar memotret, kemudian diminta ibunya untuk membuat foto bercerita atau menceritakan sesuatu?
Saya rasa ia pun sangat kebingungan, seperti saya yang juga bingung kenapa si ibu tidak memilih mengajarkan tentang komposisi foto atau teknik dasar memotret.
Mungkin, ia juga sebenarnya tidak paham dan hanya berkata apa yang diserapnya dari tulisan orang lain. Pantas jawabannya membingungkan.
(Bisa minta tolong? Menurut Anda, apakah foto-foto di dalam tulisan ini masuk foto bercerita menurut standar Anda? Silakan bagikan di kolom komentar)
betul setiap photo bercerita, dan alhamdulillah bisa belajar disini tentang photo
Hayo belajar bareng mas..