Istilah efek film atau simulasi film mungkin kurang dikenal oleh masyarakat umum, tetapi kalau kata “filter” yang diajukan, rasanya tidak ada yang tidak kenal.
Tidak sedikit juga yang rasanya akan menimpali dengan tambahan berbagai istilah lain, seperti “Velvia”, “Portra”, “Provia“, dan sebagainya. Hampir setiap kamera digital dan aplikasi photo editing sekarang diperlengkapi dengan berbagai filter yang dipergunakan untuk mengubah nuansa sebuah citra digital / foto. Bahkan, media sosial berbasis visual, seperti Instagram sendiri sekarang diperlengkapi dengan filter semacam ini.
Jadi, efek film atau simulasi film sebenarnya sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia di zaman digital seperti sekarang ini.
Tapi, mungkin hanya sedikit yang menyadari kalau efek-efek itu tidak lahir di masa sekarang. Ada yang lahir puluhan tahun yang lalu, yaitu ketika fotografi masih analog alias memerlukan “film”.
Pada masa itu, menghasilkan sebuah kombinasi warna, aperture, tingkat kecerahan, dan berbagai lain unsur fotografi, termasuk nuansa yang ingin ditampilkan, tidak bisa dilakukan semudah sekarang. Zaman analog memerlukan persiapan di awal agar fotonya bisa lahir sesuai keinginan.
Salah satunya dimulai dari “film” yang akan dipergunakan untuk memotret. Misalkan untuk menghasilkan kontras dan saturasi warna yang tinggi, maka roll film berlabel Velvia.
Dari sanalah istilah efek film atau simulasi film berasal, yaitu dari brand atau merk film yang dipasarkan. Pemotret harus memilih sejak awal nuansa foto yang diinginkannya dan kemudian memakai jenis film yang tepat.
Bentuk film pada masa itu bisa dilihat di bawah ini, yaitu Velvia keluaran Fuji. Produk ini dihentikan produksinya tahun 2005. Setiap produsen pada masa itu mengeluarkan berbagai film dengan jenis tertentu, seperti Kodak dengan Portra.
Nah, di masa digital sekarang ini, kombinasi setting dari masa analog tetap ada, hanya diubah bentuknya menjadi digital dalam bentuk “filter” atau “photo filter” atau “film effect” dan sebagainya.
Masing-masing produsen kamera digital kerap menggunakan istilah sendiri yang berbeda meski sebenarnya sama, yaitu menambahkan filter agar fotonya sesuai dengan nuansa tertentu. Belum ditambah dengan nama-nama baru pada aplikasi pengedit foto, seperti Snapseed atau Instagram.
Di Snapseed misalnya ada “Pop”, “Accentuate”, “Faded Glow” , “Morning”, dan seterusnya. Instagram punya “Clarendon”, “Gingham”, “Reyes”. “Juno”, dan masih banyak lainnya.
Semuanya mengacu pada hal yang sama, efek film atau simulasi film, atau lebih gampangnya, “filter”.
Bedanya adalah, di masa analog semua harus dipilih sebelum memotret, di masa digital, foto sudah jadi mau bisa diubah nuansanya sekehendak hati.
Beberapa contoh hasil efek film ada di bawah ini (dilakukan dengan menggunakan Photoscape 3.7)
|
|
|||||
|
|
|||||
|
|
Bagaimana dan kapan menggunakan filter/efek film? Filter/Efek mana yang paling bagus?
Pertanyaan yang akan mendapat ribuan bahkan jutaan jawaban yang berbeda.
Tidak ada bisa dipastikan. Tentu saja, banyak sekali tips dan trik yang mengajarkan dan menganjurkan bahwa, “Efek ini dan itu yang paling bagus dipakai di pagi hari”, atau “Filter A terbaik kalau foto yang dipotret siang”, tidak jarang juga, “Untuk foto makanan pakai filter ini hasilnya pasti joss”.
Yang manapun sebenarnya bisa benar, bisa juga tidak.
Masalah filter atau efek film tergantung pada selera masing-masing. Juga akan ditentukan oleh tujuan akhir dan kesan yang ingin ditampilkan.
Tidak ada kepastian.
Semua orang harus menemukan seleranya sendiri, dan kalau memang untuk menarik perhatian orang, selera dari pemirsa fotonya. Bukan sekedar mengikuti saran dari “blogger” yang kadang bahkan tidak tahu cara memotret dengan baik.
Jadi, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini hanya akan ditemukan setelah melalui proses pembelajaran. Anda harus belajar memotret dan kemudian memahami selera Anda.
wah efek nya keren semua ya om 😁mantul bgt
Kalo saya, setiap pake filter di aplikasi biasanya saya edit lagi, lebih enak pake feeling, soalnya menyesuaikan juga dengan kondisi hasil jepretan foto. Meskipun hasilnya yah gak bagus-bagus amat, karena kameranya juga cuman make henpon lama 😂
Kalau lihat blog mbak, saya pikir kalau dilatih terus skillnya, pasti hasilnya lebih memukau deh. Soalnya fotografi itu masalah konsistensi berlatih juga.
Pake HP juga nggak masalah karena kuncinya ada di orangnya , bukan cuma peralatan.
Soal edit, sama, saya juga lebih sering pakai feeling juga dan tidak mengandalkan filter. Cuma kadang untuk posting blog, karena ga terlalu berpengaruh, saya pake filter
Wkwkwk,, benar banget, belajar itu memang harus sama ahlinya, bukan sama blogger. Belajar motret ya sama photographer.
Saya baru belajar motret agar fotonya ga merusak pandangan mata saat dilihat.
Foto-foto di atas dari foto asli yang memang sudah cantik, aplikasi memperkuat kesan yg ingin ditonjolkan ya.