Betulkah Tidak Ada Benar atau Salah Dalam Fotografi?

Tidak Ada Benar Atau Salah Dalam Fotografi
Kolam Gunting, Kebun Raya Bogor, 2017

Ada sebuah pandangan yang menarik terkait fotografi dan banyak dipegang oleh banyak fotografer. Pandangan itu tertuang dalam sebuah kalimat sederhana, yaitu “Tidak ada benar atau salah dalam fotografi“.

Ucapan ini bukan hanya diyakini banyak orang di Indonesia saja, tetapi tercetus dalam berbagai diskusi di beberapa forum fotografi di luar negeri juga. Jadi, ini merupakan sebuah pandangan yang umum dan diyakini cukup banyak orang.

Saya sendiri “agak” sepakat dengan pandangan ini. Kata agak diberi tanda kutip karena tidak seratus persen saya bisa menerima pandangan ini. Ada sisi lain yang harus sangat mungkin bisa diperdebatkan.

Sisi diri saya yang menerima menjelaskan bahwa sudut pandang yang dipakai sebagai dasar dari kalimat ini adalah definisi fotografi sebagai “seni melukis dengan menggunakan medium cahaya“.

Dari sisi seni, memang akan terlihat kebenarannya karena seni berdasar pada kebebasan berekspresi. Penilaian terhadap sebuah karya seni juga subyektif dan tergantung selera yang melihat.

Seorang fotografer memiliki hak mengatakan bahwa karyanya sudah sesuai dengan keinginannya dan baginya indah. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, dia tetap berhak mempertahankan penilaiannya.

Juga, seorang yang memotret untuk dokumentasi dirinya sendiri atau keluarga juga tidak peduli apakah foto yang mereka hasilkan sesuai kaidah dan teori fotografi atau tidak. Selama mereka menyukai, hal itu sudah lebih dari cukup.

Kalangan seperti ini, yang memotret untuk diri sendiri, memang tidak memerlukan pembenaran dan konfirmasi dari pihak lain terhadap karyanya. Mau benar atau salah menurut para ahli, ya tidak perlu menjadi perhatian mereka.

Nilai sebuah karya foto tidak diukur dari penggunaan teknik, kesesuaian dengan teori. Yang penting ekspektasi diri sendiri sudah terwujud dan semua itu sudah cukup.

Pandangan ini juga benar kalau dihadapkan pada masalah pemakaian teknik atau teori fotografi. Tidak ada keharusan seorang fotografer harus mengikuti teori apapun, ia bebas menghasilkan foto sesuai kemauannya dan tidak bisa seseorang melarangnya.

Jadi, pandangan “Tidak ada benar atau salah dalam fotografi” berlaku bagi kategori pemotret dari kalangan ini.

Salah satu yang rajin mempopulerkan pandangan ini adalah Eric Kim, salah satu fotografer jalanan terkenal dari Amerika Serikat. Ia mendorong orang untuk berani berekspresi dengan bebas dan tanpa takut salah.

Cara Berlatih Untuk Memahami Kecepatan Buka Rana atau Shutter Speed

Ciliwung, Bogor, 2019

Namun, ada beberapa sudut pandang lain yang membuat opini “tiada salah atau benar dalam fotografi” tidak bisa diterapkan pada semua hal.

Contohnya :

  • Bisakah seorang fotografer yang dipesan untuk memotret dengan imbalan uang mengedepankan kebebasan dirinya saat memotret? Bagaimana kalau pengguna jasanya merasa tidak puas? Bukan itu bisa dipandang sebagai sebuah kesalahan?
  • seorang jurnalis foto yang diperintahkan oleh atasannya meliput sebuah peristiwa, bisakah ia bebas dari “kesalahan”? Kalau fotonya tidak sesuai dengan permintaan editornya, apakah ia bisa berdalih dengan pandangan di atas
  • bisakah seseorang memotret peristiwa kecelakaan dan kemudian memamerkan korban yang berdarah-darah di Instagram mereka dan merasa bisa bebas dari kesalahan karena menabrak norma berdasarkan pemikiran tadi?
  • bisakah seseorang, memotret yang tidak sesuai norma dan kemudian memamerkannya di media sosial dan berdalih bahwa itu sekedar seni? Hal yang ini baru saja terjadi di Dubai saat beberapa model dipotret tanpa busana
  • bisakah memenangkan lomba foto kalau hasil karyanya tidak sesuai dengan teori dan teknik fotografi umum, seperti Rule of Thirds, Leading Line, dan seterusnya?

Masih banyak lagi hal yang bisa menunjukkan bahwa dalam fotografi pun tetap ada benar dan salah. Fotografi tidak bebas dari nilai.

Mungkin, kalau tujuannya hanya sekedar dokumentasi diri sendiri, atau untuk dinikmati diri sendiri, ya di sana pandangan “tidak ada salah atau benar dalam fotografi” berlaku penuh.

Sayangnya, prinsip itu sepertinya tidak berlaku ketika fotografi dipergunakan dalam interaksi dengan manusia lain. Penyebabnya adalah interaksi antar manusia dimanapun akan terikat pada aturan, norma, etika, dan hukum.

Keterikatan itulah yang menyebabkan hadirnya kata benar dan salah yang berasal dari aturan atau hukum tadi.

Pantai Kartini, Rembang, 2018

Itulah mengapa saya berpandangan bahwa pernyataan “Tidak ada benar atau salah dalam fotografi” haruslah dilihat dari konteksnya dulu. Tidak bisa disamaratakan.

Miriplah dengan prinsip “kebebasan berpendapat”. Memang betul, tidak salah mengeluarkan pendapat, tetapi tidak berarti semua orang bisa mengatakan sesuatu yang bahkan melukai orang lain. Tetap ada batasannya dan harus sesuai dengan konteksnya.

Bagaimana menurut Kawan? Apa punya pendapat lain tentang hal ini?