Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah thread di Komunitas Fotografi Indonesia, Facebook, seorang member menuliskan bahwa gelar fotografer adalah untuk mereka yang berjuang untuk menampilkan keindahan pada hasil karya mereka. Lebih lanjut katanya, gelar itu tidak layak disandang oleh mereka yang hanya sekedar bisa memotret.
Sebuah pernyataan yang menghentak pikiran.
Memang terlihat biasa saja dan mungkin sekali akan banyak orang mengamininya. Tetapi, bagi saya sendiri disana ada sebuah kesombongan, eksklusivitas, dan sedikit chauvinisme.
Bagaimana dengan mereka yang menekuni fotografi jurnalistik? Sebutan apa yang harus diberikan untuk mereka. Jarang sekali foto-foto karya para jurnalis foto yang menggugah selera dan memukau mata. Kebanyakan dari hasil karya mereka adalah cerita tentang sebuah momen saja.
Jauh dari indah.
Pertanyaan lanjutan timbul, haruskah seorang fotografer menekankan sisi keindahan karyanya dibandingkan cerita yang terkandung di dalam sebuah foto?
Kenyataannya, fotografi lahir karena keinginan manusia untuk bisa merekam secuplik bagian dari kehidupan mereka dalam bentuk gambar. Niatnya adalah agar foto-foto itu bisa menceritakan kepada pembuatnya atau orang lain tentang sebuah momen yang di masa lalu.
Bukan untuk menampilkan keindahan dari suatu obyek. Pada saat kamera dan fotografi lahir, masalah keindahan masih dipegang oleh para pelukis, bukan fotografer.
Dengan pernyataan bahwa gelar fotografer dipandang hanya bisa disematkan pada mereka yang menekankan pada keindahan, maka fotografi sudah melenceng dari ide awalnya. Fotografi malah masuk hanya ke ranah seni saja.
Padahal, fungsi kamera sendiri di masa sekarang ada dua buah, yaitu sebagai alat dokumentasi dan pembuat karya seni. Keduanya bermain di wilayah yang berbeda. Yang terakhir memasuki ranah seni yang selalu menekankan keindahan.
Dua fungsi kamera, sekaligus fotografi ini tidak bisa saling menafikan. Keduanya berjalan secara paralel dan bersamaan, meski kadang saling bersinggungan dan campur aduk. Tidak bisa seorang yang menekuni salah satunya memvonis bahwa yang lain tidak bisa disebut fotografer.
Pernyataan yang sebenarnya sangat konyol, tetapi bisa dimengerti mengingat di masa sebelum lahirnya smartphone dan kamera semakin murah/terjangkau. Pada masa itu, fotografer adalah julukan eksklusif bagi mereka yang mampu membeli kamera dan kemudian menghasilkan foto yang indah.
Batasan ini tergerus di masa sekarang dengan semakin banyaknya orang yang terlibat. Tentunya hal itu akan membuat mereka yang selama ini berada dalam lingkaran yang eksklusif terusik oleh kehadiran orang-orang “biasa”. Mirip situasinya dengan kalangan priyayi di masa lalu yang tergerus ketika paham kesetaraan merebak dimana-mana.
Bagaimanapun, fotografi adalah milik semua. Tidak ada satu kalangan pun yang berhak memonopolinya. Siapapun berhak dan boleh ikut serta, dan bahkan boleh melabeli diri sendiri sebagai fotografer. Tidak boleh ada seorang pun yang merasa berhak untuk membuat kriteria tentang apa dan siapa yang berhak menyandang gelar fotografer.
Apalagi dengan membatasi bahwa hanya yang bisa menampilkan keindahan saja yang berhak disebut fotografer. Sesuatu yang sangat konyol karena fotografi sendiri pada dasarnya menekankan pada kebebasan berkreasi.
Lagipula indah itu sendiri sesuatu yang relatif dan tidak akan sama setiap orang. Tidak ada kriteria pastinya.