Susahnya Menjadikan Fotografer Sebagai Model

Susahnya Menjadikan Fotografer Sebagai Model 

Fotografer itu termasuk spesies yang aneh bin unik. Kehidupannya sulit dilepaskan dari yang namanya kamera dan sering membuat foto. Memang, itulah salah satu “fungsi” fotografer dalam kehidupan.

Tetapi, cobalah bertanya kepada kebanyakan fotografer, apakah mereka memiliki banyak foto tentang diri sendiri? Kemungkinan besar jawabannya, “Ada tetapi tidak banyak”.

Memang, memotret diri sendiri tidak mudah. Meskipun banyak kamera sudah diperlengkapi vari-angle, atau layar LCD yang bisa diputar 180 derajat, tetapi kebanyakan fotografer menydari bahwa hasilnya sulit menjadi bagus.

Kalaupun harus meminta bantuan orang lain untuk memotret dirinya, banyak yang tidak cukup yakin bahwa hasilnya akan sama dengan kalau dia yang memotret. Sudah biasa kalangan pemotret ini berseloroh menunjukkan perbandingan hasil foto kalau mereka yang memotret dan kalau orang lain yang melakukan.

Hasilnya biasanya seperti bumi dan langit. Foto yang mereka buat biasanya bagus dan enak dilihat, tetapi foto yang dilakukan orang lain terkadang bikin geleng-geleng kepala. Sering buram. Tidak fokus.

Jadi, mungkin karena itulah terkadang kaum fotografer enggan berdiri di depan kamera.

Termasuk saya. Yang meski tidak bisa disebut fotografer, tetapi bolehlah disebut penggemar fotografi.

Malas rasanya harus berdiri di depan kamera dan menjadi model foto apapun.

Rasanya sama sekali tidak mengasyikkan melakukan hal itu. Lebih menyenangkan dan exciting berada di belakang kamera, mengintip dari viewfinder, mengatur setting, dan kemudian menekan tombol shutter.

Ada deg-degan saat melihat hasilnya. Apakah akan bagus atau tidak. Fokus tepat atau melenceng. Dan, sejenisnya.

Jadi, tidak sebanding rasanya. Ada perbedaan yang jauh sekali antara berada di depan dan di belakang kamera. Yang terakhir lebih menyenangkan.

Susahnya Menjadikan Fotografer Sebagai Model

Dan, masalahnya disitu hadir. Dalam kehidupan, seorang fotografer juga seorang manusia, seorang bapak, seorang anak, seorang suami. Mereka harus tetap berinteraksi dengan manusia lainnya.

Terkadang, suami, anak, istri atau teman berharap memiliki kenangan dalam bentuk foto yang menunjukkan kebersamaan mereka. Alasan untuk itu beragam tetapi intinya punya foto bersama.

Terjadilah kontra antara rasa “malas” dan “keharusan” itu.

Kalau tidak dituruti, suasana menjadi tidak enak. Terutama kalau yang meminta adalah pasangan hidup. Efeknya bisa panjang dan beragam, mulai dari manyun selama 1 minggu, sampai tidak dimaskin selama 1 bulan.

Repot ujungnya.

Nah, peristiwa seperti ini terulang baru-baru ini. Si kribo cilik, kelas dua SMA sekarang, ternyata mewarisi hobi bapaknya bergelut dalam dunia potret memotret. Bisa dikata dia sudah menjadi fotografer juga.

Jeleknya, ternyata adatnya sama juga dan terkena sindrom “malas menjadi model” dan lebih suka memotret model. Berada di belakang kamera sesuatu hal yang lebih disukainya dibandingkan berpose di depan.

Susahnya, kebiasaannya itu membuat ibunya manyun. Ia ingin mendapatkan foto anaknya yang katanya semakin ganteng dan keren. Hasilnya, muka si kribo cilik ngeyel dan tetap berkeras tidak mau difoto.

Apalagi saat itu sedang dalam perjalanan ke Semarang dan Rembang untuk berjalan-jalan. Tentunya, ibunya si kribo ingin punya foto dari anaknya selama berada disana.

Ruwet dah.

Barulah, setelah bapaknya turun tangan memberi komando dan keputusan dan kemudian membisikkan resiko kalau tidak mau difoto, si kribo cilik mau berpose di alun-alun Rembang ini. Sambil tetap cemberut dan manyun, tetapi setidaknya ibunya senyum melihat hasil foto anak semata wayangnya ini.

Yah, saya menyadari dua sisi tadi. Sisi ibunya yang bangga dengan anaknya, dan sisi seorang fotografer yang malas berdiri di depan kamera dan menjadi model.

Butuh sedikit kreatifitas dan “penjelasan” untuk bisa memaksa sesama fotografer berpose. Penjelasannya tentang resiko tidak dibuatkan sarapan, tidak dicucikan baju seragamnya, dan yang paling menakutkan jatah jajan bulanannya dipangkas.