Fotografi Jalanan Itu Genre Untuk Orang Yang Kurang Kerjaan

Fotografi Jalanan Itu Kerjaannya Orang Yang Kurang Kerjaan
Taman Air Mancur, Bogor 2018

Tidak terhindarkan juga dan akan sangat bisa dimengerti kalau ada yang beranggapan bahwa genre fotografi jalanan itu genre orang yang kurang kerjaan. Coba saja pikirkan sendiri apa yang didapat oleh para penggemar genre ini.

Uang? Boro-boro. Hampir tidak pernah ada orang yang mau mengeluarkan uang sekedar untuk membeli foto tentang orang tak dikenal di sebuah daerah yang juga tidak mereka kenal.

Ketenaran? Jangan harap.. Mendapatkan “LIKE” di komunitas fotografi di Facebook saja sangat sulit. Kalaupun dapat jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan tidak akan sampai 1/10 dari foto-foto yang memasang cewek bahenol dengan dada membusung dan paha mulus.

Mengundang job? Tidak bakalan. Siapa sih yang mau dipotret dengan gaya seadanya dan pencahayaan tergantung pada matahari nongol atau tidak. Bisa jadi malah yang menjadi obyek foto yang akan meminta bayaran karena sudah dilanggar privasinya.

Tidak ada sesuatu yang kalau menurut teori kapitalisme dan hukum ekonomi memungkinkan para penggemar fotografi bisa menghasilkan uang dari kegemarannya memotret orang tak dikenal di ruang publik.

Memang sih, ada beberapa fotografer jalanan yang berasal dari luar negeri terkenal seperti Bruce Gilden atau Eric Kim, yang mendapatkannya setelah tenar dalam dengan genre fotografi jalanan ala mereka. Mereka banyak mengadakan workshop yang “gilanya” di seluruh dunia.

Tetapi, itu hanya segelintir saja dari jutaan orang yang mengaku dirinya sebagai street photographer, termasuk saya. Hanya beberapa saja.

Bandingkan dengan mereka yang menekuni, terutama foto modelling yang sering kebanjiran order untuk majalah, terutama majalah dewasa. Atau, fotografer makanan, yang tentunya dibutuhkan sebagai pendamping resep makanan bagi produk-produk pengisi perut atau restoran.

Nasibnya berbeda jauh sekali.

Cuma herannya, kok semakin hari semakin banyak saja orang yang menggelutinya. Semakin banyak orang yang terlihat menenteng kamera di jalanan dan kemudian memotret orang lain yang kebetulan melintas.

Apakah semakin banyak PHK di dunia yang menyebabkan semakin banyak orang yang kelebihan waktu sehingga mau melakukan sesuatu yang kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa? Kalau begitu tidak mungkin juga karena harga kamera lumayan mahal dan kalau dipecat seharusnya mereka bukan keluyuran saja, tetapi harus mencari pengganti pekerjaan yang lama supaya nafkahnya terpenuhi.

Lalu, apa sih alasannya?

Fotografi Jalanan Itu Genre Untuk Orang Yang Kurang Kerjaan

Yah. Saya sendiri tidak tahu pasti.

Mungkin saja karena terpengaruh pandangan bahwa bisa memotret atau menekuni fotografi itu keren . Bisa juga karena ingin terlihat eksis di dunia. Bisa juga.. entahlah alasan orang lain.

Kalau saya sendiri sebenarnya terjun ke dunia fotografi jalanan karena tidak sengaja. Blog tentang kota yang saya kelola, Lovely Bogor membutuhkan foto-foto otentik yang bisa menggambarkan kota hujan ini sebagaimana adanya, setidaknya begitu menurut saya.

Jadilah, mau tidak mau cara yang perlu dilakukan adalah dengan turun ke jalan, dan melakukannya sendiri. Tidak ada jalan lain karena saya tidak sanggup membayar orang lain untuk mendapatkan foto-foto itu.

Eh, ternyata selama hunting foto di berbagai sudut kota ini, saya menemukan banyak hal baru dan selalu menarik perhatian, yaitu kehidupan orang-orang dalam keadaan sebenarnya.

Tidak diatur. Natural. Apa adanya.

Di zaman dimana semua orang berusaha untuk tampil “sempurna” seperti sekarang, yang menyebabkan aplikasi “mempercantik foto” seperti Camera 360 laku keras, hal itu justru terlihat menarik, sangat menarik bahkan.

Kepolosan yang diperlihatkan di jalanan terasa bernilai lebih dibandingkan foto-foto model berwajah bak bidadari dengan kulit mulus nan sempurna (walau kebanyakan hasil editan) dan berdada montok. Keluguan momen di jalanan terlihat begitu berbeda, tidak sempurna, penuh cacat, penuh kekurangan.

Fotografi Jalanan Itu Genre Untuk Orang Yang Kurang Kerjaan
Jalan Soleh Iskandar Bogor 2017

Mungkin karena itulah saya menyukainya. Karena saya sendiri adalah manusia, yang penuh dengan kekurangan dan sangat jauh dari sempurna. Ada kesenangan ketika melihat orang lain juga ternyata tidak cantik sempurna bak bidadari atau tidak ganteng bak malaikat (kalau bidadari = cewek dan malaikat = cowok). Maklum, saya masih manusia dan kerap merasa minder kalau ada yang “lebih” dari saya.

Bisa dikata, mungkin itu alasan saya senang berburu foto di jalanan adalah karena saya seperti melihat cermin diri sebagai manusia yang tidak sempurna. Lelah juga karena minder melihat betapa sempurnanya pria dan wanita hasil jepretan para fotografer modeling.

Mungkin karena saat memotret itu saya merasa bahwa itulah dunia yang sebenarnya dan bukan dunia “impian” yang hanya menampilkan keindahan, kecantikan, atau kesempurnaan saja.

Tidak ada uang dan ketenaran disana, kecuali untuk beberapa orang. Hanya, pada saat itu saya merasa jadi bagian dari dunia yang nyata, dan bukan impian.

Jadi, yang pasti bukan karena kurang kerjaan. Saya masih bekerja untuk mencari nafkah dan setiap hari harus pulang pergi Jakarta Bogor. Apalagi harus mengelola 10 blog untuk mencari uang jajan. Kerjaan saya banyak sekali.

Tetapi, saya merasa harus tetap terjun ke jalan, karena saya menyukainya. Dan, sekaligus pengingat bahwa saya adalah manusia yang penuh dengan kesalahan dan tidak sempurna.