Bukan mengeluh dan memang tidak sepantasnya untuk dikeluhkan. Sudah punya saja sudah bagus sekali, apalagi untuk seseorang yang menggeluti fotografi bukan untuk mencari uang. Tetapi, itulah kenyataannya bahwa lensa fix 50 mm f/1.8 STM keluaran Canon memiliki autoffocus yang lamban.
Sepertinya itulah mengapa kebanyakan fotografer selalu menyarankan untuk memilih yang versi USM, yang artinya dilengkapi dengan Ultrasonic Motor dalam lensanya dan membuat sistem autofocus kamera lebih cepat.
Beberapa pengalaman kehilangan momen selama menyusuri jalanan dengan memakai si lensa prime murah, tetapi pembuat bokeh yang bagus itu memang menunjukkan hal tersebut.
Sebagai penggemar fotografi jalanan, saya tidak memiliki waktu yang terlalu banyak untuk berpikir dan bereaksi. Terkadang hanya tersisa 1-2 detik saja dari mulai obyek yang dianggap menarik muncul dan kemudian menghilang.
Waktu itu biasanya cukup untuk mengatur setting kamera (yang biasanya diset auto atau shutter/aperture priority). Tetapi, ketika menggunakan si fix 50 mm, ternyata waktu itu tidak cukup. Lensa ini membutuhkan waktu setidaknya 2-3 detik untuk menjadi fokus terhadap obyek yang dikehendaki.
Lebih tidak enaknya lagi, ternyata si 50 mm kewalahan saat menghadapi obyek yang bergerak. Sulit sekali mendapatkan fokus dari benda atau orang yang sedang bergerak menggunakan lensa ini. Hal itu terjadi baik ketika memotret dengan menggunakan viewfinder atau dengan mode Live View alias menggunakan layar LCD.
Apalagi, kalau aperturenya diset pada angka terbesar, yaitu f/1.8. Lamban banget.
Banyak lolosnya dibandingkan berhasilnya.
Memang, untuk obyek statis dan tidak bergerak, lensa fix 50 mm versi STM ini tetap handal dan menghasilkan latar belakang blur yang baik. Tidak ada masalah sama sekali. Tetap sebuah lensa andalan yang bisa menghadirkan kesan artistik dalam sebuah foto.
Hanya saja, peringkatnya turun menjadi lensa ke-2 (dari koleksi lensa yang saya punya) dibandingkan si 55-250 mm. Lensa yang terakhir tidak menghasilkan bokeh sebagus si 50mm, tetapi autofocusnya cepat dan mudah melakukan freeze pada obyek. Dan, kecepatan focus-nya lah yang lebih dibutuhkan dalam fotografi jalanan agar tidak sering kehilangan momen.
Sekali lagi ini bukan keluhan. Bagaimanapun, si lensa fix 50 mm STM tadi tetap berguna dalam banyak hal, termasuk untuk memotret istri. Hanya saja, kalau saya hunting foto lagi di jalanan Bogor, maka lensa 55-250 mm lah yang akan terpasang pertama kali pada si Canon EOS 700D.
Foto tukang sayur di atas adalah salah satu contoh sulitnya si fix 50 mm mendapatkan fokus. Mungkin seharusnya saya meminta abang tukang sayur berhenti dan bergaya sedikit, tetapi biasanya hasilnya kurang alami.
Yah, semua pasti ada kelemahannya. Tidak ada gading yang tidak retak.