Karakter Tiap Lensa Beda : Pahami dan Jangan Abaikan

Berapa lensa yang Anda punya? Saya hanya punya 3 saja untuk Canon700D kesayangan, yaitu si lensa kit 18-55 mm, lensa zoom 55-250 mm, dan si pembuat bokeh Canon fix 50 mm STM. Harap maklum dana yang tersedia untuk menyalurkan hobi memang diperketat karena banyak kebutuhan lain yang perlu diperhatikan daripada memuaskan hasrat memotret saja.

Itu saja sudah bikin pusing. Bukan uangnya, alhamdulillah sudah terlunasi semuanya, tetapi karena seringkali lupa kalau karakter tiap lensa itu beda. Jadi, cara penggunaannya pun tidak bisa sama.

Karakter Tiap Lensa Beda

Beberapa hari yang lalu, di ajang Cap Go Meh Bogor 2018, saya merasakan betapa pentingnya mengerti ,memahami, dan mengingat karakter yang dipunyai setiap lensa. Beberapa “shoots” yang diambil terbuang percuma karena “lupa” jenis lensa yang sedang dipergunakan.

Biasanya, saat hunting foto, saya lebih mengandalkan pada si 55-250 mm karena walaupun bokehnya tidak sebagus si fix 50 mm, tetapi fitur auto-focus sangat cepat. Hal itu sangat membantu dalam memotret obyek yang bergerak. Sementara si fix 50 mm STM, walau bokehnya bagus, ternyata kemampuan auto-focusnya lebih lamban apalagi kalau sedang memakai aperture priority.

Itu memang salah satu kelemahan dari si Fix 50 mm STM. Makanya, banyak yang lebih suka berinvestasi sedikit lebih mahal pada versi USM-nya karena auto-focusnya lebih kencang. Cuma, karena sudah dibeli, yah berarti haruslah dimanfaatkan.

Kejadiannya adalah ketika saya lupa mengganti si fix dengan 55-250 mm dan bertepatan dengan banyaknya peserta pawai yang mulai bergerak. Salah satunya adalah wanita berbaju kuning yang cantik dengan kacamata hitamnya.

Mau tidak mau, mengganti lensa pada saat itu hanya akan membuat kehilangan momen. Jadilah, terpaksa si Fix yang harus bertugas. Jadilah, saya menunggu sampai posisinya pas.

Sayangnya, saya lupa masih pada aperture priority mode. Ketika kamera diarahkan, ternyata butuh waktu lama juga untuk kamera bisa menemukan fokusnya, karena obyeknya bergerak. Hasilnya adalah ya foto di atas. Posisi obyek sudah berubah dengan cepat dan pada akhirnya hanya bisa memotret seadanya saja karena “lamanya” si fix 50 mm untuk mendapatkan fokusnya.

Hal ini terulang beberapa kali.

Sehingga pada akhirnya, saya sempat mengganti lensa dengan si zoom 55-250 mm. Dan, semuanya beres.

Bukan berarti si fix tidak bagus, tetapi lebih karena “tidak sesuai” dengan kondisinya. Obyek yang bergerak membutuhkan fokus yang bisa cepat. Si lensa fix 50 mm pun bisa bergerak lebih cepat kalau setting diatur ke mode auto. Hanya saja, lensa itu kehilangan kelebihannya dalam membuat bokeh (blur) karena kamera menyesuaikan secara otomatis aperture dan sulit mencapai angka f/1.8 supaya bokehnya enak dilihat. Hasilnya akhirnya kelebihan itu kurang bisa dimaksimalkan dengan mode auto.

Saya “memaksakan” untuk menggunakan lensa yang karakternya tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Dan, sebagai hasilnya, lumayan banyak juga momen yang terlewat karenanya. Padahal, saya cukup memahami karakternya, tetapi yah namanya manusia, terkadang lupa teori saat berada di lapangan.

Padahal, kalau lensa yang “cocok” sudah siap sedia, mungkin hal itu tidak akan terjadi. Tapi, yah sudahlah. Itulah pelajaran agar jangan mengabaikan karakter tiap lensa. Pasti ada kelebihan dan kekurangan dan sebagai fotografer maka kitalah yang harus berpikir untuk memilih mana yang sesuai dengan kondisi di lapangan.