Meniru Fotografer Idola? Ah, Jangan Dulu!

Meniru Fotografer Idola, Jangan Dulu
Nusa Dua, Bali 2016

Mayoritas orang akan memiliki “orang lain” yang dikagumi . Sebuah hal yang wajar. Dalam fotografi pun begitu, biasanya seseorang memiliki fotografer lain yang dijadikan panutan. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang ingin meniru fotografer idola mereka itu

Pada intinya mereka ingin “menjadi” seperti tokoh idola mereka. Oleh karena itu tidak heran bahkan mereka mencoba untuk mendapatkan EXIF Data dari foto karya sang panutan. Tujuannya adalah mereka bisa menerapkan konsep ATM (Amati, Tiru, dan Modifikasi).

Namun, kalau saya sendiri berpendapat, bahwa tidak sebaiknya kita mencoba meniru fotografer idola tersebut.

Tentu saja bukan melarang orang memiliki panutannya, tetapi ada beberapa hal yang harus disadari bahwa melakukan hal itu bisa menghambat perkembangan kita sendiri.

Mengapa?

1> Jam terbang

Fotografer yang dijadikan panutan biasanya sudah memiliki jam terbang tinggi, pengalaman yang segudang karena sudah menjalaninya bertahun-tahun.

Berharap bahwa dengan menirunya akan menghasilkan karya yang sama bagusnya adalah sebuah pemikiran yang dangkal.

Pengalaman adalah sesuatu yang tidak bisa dibeli dan harus dijalani sendiri dan karena itulah karya fotografer senior bagus-bagus dan luar biasa. Semua merupakan perwujudan dari ribuan kesalahan dan perbaikan yang telah mereka jalani selama menekuni fotografi.

Berpikir kalau kita bisa menirunya dalam sekejap adalah sebuah kesalahan yang fatal.

2> Peralatan

O ya, saya bukan orang yang berpandangan bahwa kamera adalah segalanya. Namun, saya juga menyadari bahwa peralatan bisa memberikan perbedaan.

Rata-rata fotografer senior tidak lagi memakai kamera APS-C. Kamera yang mereka pergunakan biasanya sudah di “kelas atas” karena mereka memang hidup dengan memotret. Rata-rata mayoritas senior sudah menggunakan kamera Full frame dengan lensa seri L yang berperforma tinggi (dan mahal).

Sementara para penghobi seperti saya masih memakai kamera level atau lensa “pemula” atau “penghobi” yang kemampuannya terbatas.

Belum lagi ditambahkan rata-rata fotografer pro senior seperti Arbain Rambey atau Darwis Triadi juga diperlengkapi dengan peralatan lain yang lebih lengkap.

Sebuah hal yang berat untuk bisa menghasilkan kualitas foto yang sama dibandingkan dengan mereka. Apalagi kalau ditambah dengan perbedaan pengetahuan teknis yang besar.

3> Karakter yang berbeda

Setiap orang berbeda, bukan hanya secara fisik, tetapi juga perangai dan karakternya, termasuk dalam urusan selera dan cara pandang.

Meniru fotografer idola akan sangat berat sekali kalau kita tidak memahami karakter si panutan kita.

Foto merupakan interpretasi pandangan seseorang dalam bentuk visual dan mencerminkan ide/kreativitas orang tersebut.

Padahal, kita orang yang berbeda. Bagaimana bisa meniru ketika kita adalah orang yang berbeda dengan mereka?

Mempertahankan Warna Kulit Tetap Alami Saat Mengedit Foto asli
In Frame Aida Wijaya, Kamboja 2019

Meskipun demikian, tetap ada hal yang pasti bisa kita tiru, seperti kegigihan, konsistensi, kemauan belajar terus menerus, dan semangat untuk memperbaiki diri.

Itulah yang membuat mereka berkembang menjadi terkenal dan sukses sekarang, dan tetunya menjadi fotografer idola banyak orang.

Baca juga : Eksperimen dan Berani Salah Kunci Memperbaiki Skill

Dan, rasanya itulah yang harus menginspirasi kita untuk tetap tekun dan mau berusaha memperbaiki skill.

Bukan dengan sekedar meniru caranya memotret atau hasil karyanya.

Hal itu tidak akan berhasil.

1 thought on “Meniru Fotografer Idola? Ah, Jangan Dulu!”

  1. Saya sama pak suami dulu suka banget sama hasil foto salah satu fg wedding dari Banyuwangi, sampai-sampai pas dia buka kelas pelatihan pak suami langsung daftar.

    Meski kata teman-teman yang sama ikut pelatihan jepretan dan hasil editing pak suami paling mirip tapi menurut saya sih tetap beda. Akhirnya ya kita sadar diri kalau memang untuk urusan gear kita masih kalah jauh :))

Comments are closed.