Edit foto, sesuatu yang sebenarnya kurang begitu saya sukai dalam dunia fotografi. Hasilnya membuat saya merasa dunia ini penuh dengan segala sesuatu yang “artifisial/palsu”. Lagi pula, pengeditan menghadirkan rasa tersendiri karena saya menampilkan sesuatu yang sebenarnya tidak saya lihat sebagai seorang fotografer.
Perkembangan teknologi memang mendorong fotografi ke arah yang semakin dekat dengan definisi “Seni melukis dengan cahaya”. Fotografer yang mau tenar sekarang juga harus mau menjadi setidaknya 1/2 artis digital dengan kemampuan olah foto yang mumpuni.
Tanpa itu, kemungkinan besar ia tidak akan laku.
Namun, karena saya bukan seorang fotografer profesional meski terkadang mendapat orderan memotret, jalan yang saya pilih agak berbeda. Saya menghindari pengeditan berlebihan dan sebisa mungkin berusaha mempertahankan “sedikit keaslian” dari foto yang saya hasilkan. Bahkan, lebih mengarah pada tindakan koreksi saja kalau foto dianggap terlalu terang atau gelap. Bukan mengubah foto.
Untuk post-processing foto hasil buruan di jalan atau dimanapun, saya hanya menggunakan aplikasi Photoscape atau Picasa saja. Fitur keduanya sangat terbatas untuk bisa neko-neko dan memang tidak ditujukan untuk pengeditan berat. Tetapi, kedua jenis software gratis itu sudah cukup untuk melakukan perbaikan kontras, kecerahan, atau saturasi.
Untuk Photoscape ada tambahan sedikit fitur berupa efek film yang lumayan bisa dipergunakan kalau sedang ingin bermain-main dengan kreativitas sendiri.
Hanya saja, saya memilih berusaha agar foto tidak terlalu jauh keluar dari foto aslinya.
Mungkin sebuah tindakan bodoh, tapi siapa peduli.
Untuk melakukan itu, saya biasanya melakukan kompromi antara ide dan realita. Saya berusaha menemukan titik keseimbangan antara keduanya.
Nah, untuk foto orang atau manusia, tolok ukur yang paling saya perhatikan adalah tentang warna kulit. Warna bukan kondisi kulit (mulus atau jerawatan) karena untuk melakukan itu biasanya harus menggunakan software yang lebih berat , seperti Photoshop atau Lightroom.
Setiap perubahan kontras, kecerahan, saturasi foto secara keseluruhan biasanya sangat berefek pada bagian lain. Ada yang menjadi terlalu pucat atau sebaliknya terlalu gelap kemerahan.
Belakangan memang “dark tone” memang banyak digemari, tetapi mengedit foto menjadi “gelap” biasanya membuat kulit obyek kemerahan berlebihan.
Yang seperti itu cenderung menjadikan foto kurang terlihat alami atau natural.
Untuk menghindari hal yang seperti ini lah biasanya saya membuat 3-4 hasil editan. Kok banyak? Karena dengan begitu hasilnya bisa diperbandingkan dan saya bisa memilih mana yang paling tidak “bergeser” dari foto aslinya (kondisi asli). Mana foto yang paling mengena dan hasil kompromi terbaik antara ide dan realita.
Hasil “Edit 1” kalau untuk ditayangkan sebenarnya sudah lebih dari cukup. Foto asli yang agak terlalu terang sudah dikoreksi dan warna kulitnya tidak bergeser jauh.
“Edit 2” juga cukup baik karena warna kulit masih dalam batas wajar, meskipun “menjauh” dari warna kulit asli modelnya (teman sendiri jee, jadi hapal sekali). Bagi yang tidak kenal modelnya, mungkin ia beranggapan kalau modelnya berwarna sawo matang, padahal sebenarnya berkulit kuning.
Nah, hasil “Edit 3” ini akan disukai para penggemar dark mode karena kesannya “artistik” dan berseni (katanya loh). Namun, saya merasa tidak nyaman karena kulitnya terlalu merah. Tentu saja sepertinya hasil edit ini masih bisa dipergunakan (karena toh tidak ada yang tahu warna kulit aslinya), cuma rasanya sudah tidak begitu nyaman untuk saya sendiri. Sudah melebihi batas keseimbangan antara ide dan kenyataan.
Jadi, kalau saya harus memilih, maka pilihan ada di antara hasil Edit 1 dan 2.
Alasannya karena warna kulit dalam fotonya masih berada pada level yang sesuai dengan aslinya.
Bagaimana menurut Kawan? Mana di antara ketiga foto hasil pengeditan itu yang bisa diterima?
Boleh tahu?
Yg pertama dong Mas, tapi yang ke 3 juga bagus, asal objek orangnya di edit lagi di layer baru, warna merah sm cahayanya bisa dikoreksi lagi biar keliatan lebih natural 😁
Pertamax komen di mari. 😅 Nice pics.
Warna kulit saya lebih suka yang pertama. Natural.
Kameranya apa ya, mas Anton? Setahu saya ya yg plg dekati natural hasilkan warna kulit dlm format masih RAW itu Canon. Warm color begitu. Yang lain lebih cold. Mengurangi post processing sih.
Bagaimanapun color science itu sgt subyektif. Kenal fotografer yang pemilihan warnanya cenderung cold. Saya sendiri tidak fanatik kemanapun cenderung lihat apa mood yg ingin ditampilkan. Kalau nostalgia ya warna vintage
Horee.. ada suhu fotografi yang berkunjung di blog terbengkalai ini. Nggak deng, sedang coba dihidupkan kembali dan sudah mulai berjalan.
Yup.. saya juga suka yang pertama. Benar sekali kesannya masih “natural” dan tidak berlebihan.
Kamera saya Canon dan memang betul sekali warnanya tidak terlalu soft. Memang betul sekali saya juga jarang melakukan post processing dan kalaupun melakukan, hanya sekedarnya saja.
Betul dan setuju sekali bahwa itu masalah selera, mood, dan juga “ide” di kepala. Saya juga tidak semuanya harus warm, terkadang cold, terkadang lembut. Cuma terus terang seringnya, saya suka yang “tegas”, jelas, hahahaha.. agak gimana gitu kalau melihat yang terlalu “lembut”..
Yup, sama dong Pheb… hahahaha hayo dong berbagi ilmu fotografinya biar dunia lebih ramai neh
aku pilih nomer 1 karena menurutku masih natural untuk tampilan warna kulitnya
bener yang dibilang pak anton, kalau edit edit terutama warna kulit, kalo editnya keterlaluan kadang terliat sedikit aneh, apalagi kalau kita kenal dan tau warna kulit aslinya temen sejauh apa
Hahahaha iya saya juga pilih nomor satu Nun.. Soalnya kalau yang lain jadi ga natural banget deh