Terkadang, saya berpikir bahwa dunia fotografi adalah sebuah dunia teoretis dan filosofis. Dunia semua karena di dalamnya banyak yang sebenarnya tidak ada dibuat menjadi ada.
Contohnya, baru kemarin saya membaca seorang penggemar fotografi mengeluh saat melihat foto karyanya sendiri. Ia memandang bahwa foto itu tidak bisa bercerita seperti yang diharapkan.
Yang muncul di kepala saya langsung sebuah pertanyaan bisakah sebuah foto bercerita?
Hasil pencarian saya di dunia maya menemukan bahwa foto bercerita memang merupakan salah satu kata kunci yang lumayan banyak dicari. Ternyata, saya juga menemukan tidak terhitung tips dan trik bagaimana membuat sebuah foto bercerita.
Berarti, mungkin, yang diinginkan oleh kawan penghobi fotografi tadi adalah fotonya bisa seperti yang diajarkan. atau banyak dibicarakan.
Cuma, saya sendiri merasa ada sebuah hal yang rasanya janggal dalam hal ini.
Mungkin, dangkalnya pengetahuan fotografi saya, sebuah foto hanyalah rekaman sebuah momen singkat yang terjadi di masa lalu.
Satu frame saja.
Tidak lebih.
Kalau dilihat dari segi waktu frame itu hanya mewakili sepersekian detik peristiwa yang pernah terjadi.
Tentunya, waktu itu tidak akan cukup untuk menceritakan secara lengkap atau menggambarkan tentang peristiwa yang terjadi. Foto hanya bisa mewakili sebuah momen saja.
Seringkali foto tidak bisa berdiri sendiri. Bahkan untuk menentukan kapan sebuah peristiwa terjadi, foto membutuhkan adanya teks di caption atau di EXIF. Foto butuh konteks untuk bisa mewujudkan “foto bermakna lebih dari 1000 kata”.
Foto pun akan menghasilkan interpretasi yang tidak tunggal, sama seperti lukisan. Cerita apa yang ingin disampaikan oleh fotografernya sangat mungkin akan ditangkap berbeda oleh yang melihat.
Boleh saja seorang fotografer mengatakan ia ingin menceritakan tentang “kehidupan di pasar saat malam hari” lewat fotonya. Sangat mungkin sekali, audiens fotonya memiliki pandangan tersendiri dan mengatakan foto itu bercerita tentang kehidupan tukang sayur.
Belum tentu sama. Mayoritas justru akan berbeda.
Jenis foto yang paling mendekati dengan istilah foto bercerita adalah foto jurnalistik. Biasanya foto jenis ini akan menggambarkan inti dari sebuah peristiwa yang terjadi. Contohnya, seperti foto tertangkapnya koruptor A akan digambarkan dengan sebuah foto dimana tersangka memakai rompi oranye KPK.
Itupun fotonya tidak 100% bercerita sendiri melainkan menjadi bagian dari sebuah konten yang juga mengandung teks. Foto tidak akan mampu menerapkan prinsip “Apa, Dimana, Siapa, Kapan, Mengapa” karena keterbatasannya.
Ia akan membutuhkan tambahan-tambahan lain agar fotonya bisa menjadi sebuah cerita yang ingin disampaikan fotografernya secara lengkap.
Memang, foto akan tetap bercerita, tetapi ceritanya dalam hal ini belum tentu sesuai dengan ide dari yang memotretnya.
Bahkan, foto dokumentasi perjalanan wisata keluarga saja untuk bisa menjadi sebuah cerita lengkap akan butuh memori dari yang melihat.
Untuk bisa membuat sebuah foto yang bercerita sesuai dengan kemauan sang fotografer, foto tidak bisa berdiri sendiri. Foto harus ditemani oleh
- teks : dimana teks akan dipergunakan untuk menyampaikan APA, SIAPA, DI MANA, KAPAN, MENGAPA
- foto/image lain : beberapa foto bisa digabungkan dalam sebuah esai foto yang memperlihatkan rentetan hal-hal yang berkaitan dengan sebuah peristiwa sehingga pemirsa bisa mendapatkan lebih banyak potongan cerita
Itulah yang membuat saya berpikir bahwa kawan penggemar fotografi itu sebenarnya sedang menyiksa diri. Ia terlalu tenggelam dan berpikir keras agar fotonya (sebuah saja) bisa menceritakan.
Padahal, sebenarnya tidak mungkin. Luar biasa sulit menceritakan sesuatu hanya dalam selembar foto yang merekam sesuatu dalam sepersekian detik.
Tapi, kalau ia membatasi kata “bercerita” adalah sebatas menceritakan ide dan pemikirannya saja, hal itu masih mungkin.
Contohnya, jika ia ingin menampilkan kesan sunyi dan sepi, sisakan saja ruang kosong yang banyak dalam fotonya. Biasanya hal itu tidak akan gagal dalam menghasilkan nuasan sepi.
Cuma itu saja. Tidak ada yang lain.
Dunia fotografi bisa dikata dunia yang hampir tanpa batas. Semua orang bisa mengeluarkan teori-teorinya sendiri dan kemudian membuat branding bahwa teorinya lah yang paling benar.
Hal itu terlihat dalam istilah foto bercerita, yang sebenarnya mungkin sudah berkembang terlalu luas dan dianggap kebenaran. Padahal, mungkin saja itu hanyalah sekedar omong kosong saja agar seorang fotografer terlihat berbeda dari yang lain.
Dan, saya pikir kawan sesama penghobi fotografi tadi, termakan omongan ini dan gagal melihat lebih ke dalam lagi tentang apa itu fotografi.