Semakin Biasa Obyek Foto, Semakin Baik Untuk Belajar

Semakin Biasa Obyek Foto Semakin Baik Untuk Fotografer

Blessing in disguise. Berkah tersembunyi.

Begitu kata orang bule ketika mereka mengalami sesuatu yang buruk dan menyebalkan, tetapi berujung pada hal yang baik.

Saya pikir, setidaknya dalam usaha berpikir positif, pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, juga memberikan berkah tersembunyi. Dalam hal ini, “berkah” bagi para fotografer atau penggemar fotografi.

Akibat dari keberadaan sang Corona di muka bumi ini memang menyebabkan banyak masalah dan gangguan bagi kehidupan manusia. Salah satu yang menyesakkan adalah seruan untuk #dirumahsaja yang terus menerus digaungkan oleh pemerintah dimanapun.

Kebebasan manusia untuk bergerak “dirampas” demi mencegah penyebaran.

Otomatis hal itu menimbulkan masalah tersendiri bagi penggemar fotografi. Mereka yang biasanya bisa dengan bebas “berburu” momen, terpaksa sejak si Covid datang tidak bisa banyak melakukan hal itu.

Mereka ‘terkurung” dalam rumah atau lingkungan yang sempit. Tidak bisa kelayapan.

Hasilnya adalah mereka tidak lagi memiliki pilihan obyek untuk kamera. Yang ada hanyalah benda-benda biasa yang sudah dilihat puluhan ribu kali selama hidupnya. Barang-barang yang tidak memiliki “nilai keindahan”.

Itu lagi itu lagi.

Tetapi, kalau dipikir ulang, situasi yang seperti ini sebenarnya sesuatu yang “baik”.

Sesuatu yang “biasa” saja memang tidak menghadirkan “rasa” keindahan yang biasanya menjadi dasar pemilihan obyek. Meskipun demikian, seorang fotografer tetap memiliki “otak”, bagian tubuhnya yang bisa berpikir.

Dengan otak itu ia harus berpikir untuk mencari cara agar sebuah obyek “biasa” bisa menjadi sesuatu yang “tidak biasa” atau “luar biasa”. Dengan otak seharusnya seorang fotografer bisa menemukan setting kamera yang pas atau pencahayaan agar obyek tersebut menjadi enak dilihat.

Ia bisa juga mencoba memadu padankan berbagai benda sederhana nan biasa saja agar menghasilkan foto yang bagus.

Bukankah memang begitu seharusnya seorang fotografer? Ia harus bisa menemukan keindahan dari sebuah obyek dan bukan bergantung pada keindahan obyek.

Kalau yang terakhir yang menjadi pilihan, maka ruwetlah dunia. Bayangkan saja kalau seorang wedding photographer yang mengandalkan pada kecantikan pengantinnya supaya bisa memotret.

Hasilnya pasti ia tidak akan laku.

Kenapa? Ya karena tidak semua pengantin itu cantik, banyak yang sebenarnya tidak menyenangkan untuk dilihat, alias jelek meski sudah didandani.

Tugas seorang fotografer lah untuk menemukan sisi kecantikan dari si pengantin dan menampilkannya dalam foto. Bukan sekedar merekam “kecantikan” pengantinnya saja.

Memang sih, rejeki banget kalau mendapat kesempatan memotret yang cantik-cantik. Itu namanya rejeki, tetapi tidak bisa diharapkan terus menerus terjadi.

Rasanya, terkurung dalam rumah dan lingkungan kecil akan membantu pengembangan diri seorang fotografer. Ia akan dipepet oleh situasi dan hanya punya pilihan yang “jelek” dan seharusnya respon darinya adalah memutar otaknya lebih keras.

Ia harus bereksperimen dengan berbagai setting, pencahayaan, dan komposisi. Ia harus berupaya menghadirkan hal yang “unik dan menarik” dari obyek-obyek yang membosankan.

Bila hal ini terus dilakukan, ia bisa “terlepas” dari kebiasaan “berburu” kecantikan/keindahan dan menghadirkan mindset baru, “menciptakan keindahan/kecantikan”.

Pada akhirnya hal ini akan membantu banyak dalam mengembangkan diri sebagai seorang fotografer.

Semakin Biasa Obyek Foto, Semakin Baik Untuk Belajar

Paling tidak begitulah pandangan saya.

Bukan berarti saya menyukai keberadaan si Corona dan berharap ia tetap ada di muka bumi. Tetapi, toh tidak ada faedahnya berpikir buruk terus menerus. Hasilnya hanya menyusahkan hati dan diri sendiri.

Lagi pula, bukankah memang itu inti lain dari menjadi seorang fotografer? Ia harus bisa menemukan “sudut pandang” lain yang lebih enak untuk dilihat.

Dan, inilah cara saya dalam memandang pandemi yang belum kunjung usai ini.