Istilah “Mateng Di Kamera” Cuma Ada Di Fotografi



Mateng puun atau matang di pohon adalah sebuah istilah yang umum dipergunakan oleh pedagang buah. Biasanya dipergunakan untuk menunjukkan bahwa buah yang dijualnya bukanlah hasil karbitan dan kematangan didapat dengan cara yang alami. Memang, buah yang matang di pohon biasanya memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan hasil karbitan.

Tentunya, istilah yang satu ini sudah sering didengar. Iya kan?

Nah, sekarang ada seseorang yang mengatakan bahwa ia lebih suka “mateng di kamera”. Apa maksudnya?

Istilah ini juga jarang saya dengar sebelumnya. Baru beberapa hari yang lalu ketika terlibat percakapan via Instagram dengan seorang kenalan fotografer dari Depok, istilah itu tercetus keluar. Yang mengatakannya bernama Badet Zarhaeni, seorang fotografer yang pernah menjadi jurnalis di sebuah kantor berita dan sekarang menjalani bisnis fotografi untuk prewedding, wedding, dan model.

Istilah "Mateng Di Kamera" Cuma Ada Di Fotografi

Bagi yang tidak bergelut di dunia fotografi, tentunya akan mengerenyitkan dahi membaca istilah asing tersebut. Bagaimana bisa sebuah foto “matang di kamera”?

Untuk bisa memahami apa yang dikatakannya, tentu butuh sedikit background.

Di masa sekarang dimana fotografi digital semakin berkembang, penggunaan photo editing software atau perangkat lunak untuk mengedit foto semakin marak. Banyak orang sekarang justru mengandalkan kemahiran mereka dalam mengolah foto untuk mendapatkan image yang “sempurna” dan terlihat enak dipandang mata.

Sebuah keniscayaan dari perkembangan teknologi. Mau tidak mau setiap fotografer di masa sekarang harus juga membekali diri dengan kemampuan tersebut.

Sayangnya, seringkali, banyak fotografer yang justru sekarang lebih menekankan pada mengedit foto. Mereka tidak lagi berfokus dan berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan foto yang baik dengan kameranya. Banyak yang berpikir “Ah, gampang nanti di-edit saja pakai Photoshop (atau aplikasi lainnya)”

Padahal, kebiasaan ini justru membuatnya menjadi lebih sebagai “artis digital” dibandingkan fotografer yang seharusnya mengandalkan kameranya, bukan komputernya.

Nah, istilah “mateng di kamera” yang dikatakan Badet itu menunjukkan bahwa ia ingin agar foto yang keluar dari kameranya sudah mendekati “sempurna” dalam artian sesuai dengan ide dan kemauannya.

Ia tetap mengatakan tetap akan melakukan editing alakadarnya, yang berarti kemungkinan adalah pengaturan contrast atau brightness saja. Sesuatu yang memang tidak akan merubah obyek dan sekedar menaikkan atau menurunkan warna dan kecerahan saja. Mungkin sedikit cropping juga akan dilakukan.

Pastinya ia tidak akan menggunakan efek ala Camera 360 yang bisa membuat wajah jerawatan jadi punya wajah sangat mulus ala bidadari, sampai lalat nempel saja jatuh.

Prinsip yang memang seharusnya dipegang oleh seorang fotografer. Ia harus mengandalkan kameranya dan bukan bergantung pada komputer dan aplikasinya.

Hal itu sangat dimungkinkan karena kamera masa sekarang pada dasarnya sudah seperti komputer mini dan lebih canggih dibandingkan masa lalu. Pembuatan komposisi foto, baik warna, latar belakang, mimik modelnya bisa dilihat dan dipertimbangkan baik-baik sebelum tombol shutter release ditekan.

Artinya, dengan prinsip ini seorang fotografer harus sudah memikirkan matang-matang sesuai dengan keahliannya agar hasil file foto hasil jepretannya, paling tidak sudah 90% jadi dan sisanya barulah dipoles dengan aplikasi edit foto.

Itulah yang dimaksud dari istilah “mateng di kamera”, yang sebenarnya tidak berbeda jauh dari istilah “mateng puun” ala tukang buah, yaitu sama-sama merujuk sesuatu yang “alami” dan bukan polesan.

Dua foto pada tulisan inipun dibuat dengan memakai prinsip tadi dan hanya diubah kecerahannya saja. Karena saya sendiri memang lebih suka begitu.

(Untuk melihat hasil karya Badet Zarhaeni silakan kunjungi akun instagramnya di @badet_xarhaeni dan anda akan menemukan makna dari prinsip di atas)