Mengapa Seorang Fotografer Harus Belajar Mengedit Foto ? Bukankah Itu Perbuatan Curang ?

Pernahkah Anda bertanya apakah seorang fotografer harus juga belajar mengedit foto selain menghasilkannya lewat kamera ? Pernahkah Anda mempertimbangkan apakah hal itu termasuk perbuatan curang atau tidak ?

Bila Anda belum pernah berpikir tentang hal yang satu ini, ada baiknya coba merenungkan dan mencoba menemukan jawabannya.

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa banyak sekali pro dan kontra terkait sah atau tidaknya mengedit foto. Perdebatan panas terjadi di sana sini, via internet atau bahkan ketika para fotografer bertemu di warung kopi. Terkadang diskusi bisa menjadi panas karena masing-masing mempertahankan argumennya.

Yang pro menekankan kalau hal itu memang sejak dahulu sudah dilakukan dan sekarang dipermudah dengan perkembangan teknologi yang melahirkan berbagai aplikasi pengedit foto. Yang kontra berargumen bahwa sebuah foto haruslah dilakukan lewat kamera dan bukan komputer.

Percayalah, argumen keduanya sama masuk di akalnya.

Tetapi, selama lebih dari 4 tahun menggeluti dunia fotografi, meski cuma sebagai penggemar dan pecinta saja, saya menemukan satu hal penting yang bisa menjadi jawaban terhadap pertanyaan seperti itu.

Coba saja lihat di bawah ini.

Mengapa Seorang Fotografer Harus Belajar Mengedit Foto ? Bukankah Itu Perbuatan Curang ?
Eco Art Park, Sentul Bogor – 2016

Foto “Optimus Prime” di atas dijepret lewat kamera prosumer Fuji Finepix HS 35EXR, kamera pertama selain ponsel yang saya punya.

Bagi masyarakat awam, mungkin masuk dalam kategori lumayan. Setidaknya bisa menggambarkan kalau di salah satu tempat wisata di Kabupaten Bogor ada sebuah patung lucu terbuat dari berbagai bahan bekas. Lumayan bisa mengundang perhatian.

Meskipun demikian, sebenarnya foto tersebut, bagi saya sendiri kurang memuaskan. Terlalu gelap dan subyek utama foto, si Optimus Prime tidak menonjol dan hampir berbaur dengan latar belakangnya. Maklum saja kemampuan si prosumer itu masih kurang kalau dibandingkan DSLR atau Mirrorless dalam hal ketajaman.


Baca juga : Fungsi Utama Photo Editing Software : Untuk Memperbaiki Foto

Nah, sekarang bandingkan dengan due foto (atau image) di bawah ini.

Mengapa Seorang Fotografer Harus Belajar Mengedit Foto ? Bukankah Itu Perbuatan Curang ?
Hasil Edit dengan GIMP 1
Mengapa Seorang Fotografer Harus Belajar Mengedit Foto ? Bukankah Itu Perbuatan Curang ?
Hasil Edit GIMP 2

Nah, rasanya, pendapat Anda pun akan sama bahwa foto setelah diedit lebih enak dilihat. Obyeknya menonjol dibandingkan latarnya.

Pengeditan dilakukan hanya dengan memanfaatkan menu SELECT, CONTRAST, BRIGHTNESS, dan filter GAUSSIAN BLUR saja. Tidak ada penambahan obyek baru. Hasilnya enak dilihat.

Dari pengalaman ini, terlihat bahwa sebuah foto yang kalau tanpa diedit sudah masuk “trash bin” atau tong sampah, ternyata bisa diselamatkan dan bisa dipertunjukkan kepada orang lain.

Berarti, tenaga, waktu, usaha sang fotografer tidak jadi terbuang percuma. Banyak yang terselamatkan dengan mengedit foto usang tak berguna itu.

Bukankah hal itu berarti membawa KEBAIKAN? Sesuatu yang membawa kebaikan bagi kehidupan manusia tidaklah seharusnya disia-siakan.

Belum lagi pada kenyataannya, di masa lalu pun usaha “mengedit foto” sudah dilakukan.dengan cara “mentusir” yang dilakukan ketika foto berada di “kamar gelap”. Juga, bukankah HDR (High Dynamic Range) sudah juga dilakukan berpuluh tahun yang lalu dengan menggabungkan beberapa bagian terbaik dari beberapa foto ke dalam satu saja?

Usaha manusia untuk menghasilkan sebuah foto yang indah dan enak dilihat dengan cara mengeditnya sudah dilakukan sejak lama dan bukan baru-baru ini. Saat itu semua menerima. Bedanya hanyalah, di masa sekarang, semua orang bisa melakukannya dan dilakukan dengan cara yang lebih mudah, yaitu dengan software saja. Tidak perlu repot.

Sejak lama, manusia berusaha untuk mencari kesempurnaan dalam hal apapun, termasuk dalam dunia fotografi.

Lagipula, jika ditilik dari sudut seni, fotografi adalah seni melukis dengan spektrum cahaya. Seni, kata kuncinya, adalah sebuah bidang dimana kebebasan menjadi intinya. Manusia harus bebas berekspresi dengan berbagai cara.

Seni lukis sekalipun, yang di masa lalu hanya mengandalkan kanvas, kuas, dan cat saja berkembang di masa sekarang. Banyak yang menggunakan media lain, seperti kain,  tembok, dan cara melukisnya pun bukan dengan kuas saja, ada yang menggunakan anggota badannya.

Semua berkembang.

Jadi, bisa dikata, pengeditan foto adalah sisi perkembangan tidak terelakkan dalam dunia fotografi seiring dengan berkembangnya teknologi dan pemikiran manusia.

Mengedit foto juga tidak bisa dianggap perbuatan curang karena tidak ada aturan dan keharusan bagaimana seharusnya fotografi harus dilakukan.

Meskipun demikian, pada akhirnya memang tetap harus ada batasan seiring dengan lahirnya dunia baru, yaitu digital imaging atau pembuatan image secara digital. Bidang yang satu ini berbeda karena tidak lagi pembuatnya tidak lagi menggunakan kamera, ia bisa langsung mengambil foto dari mana saja, atau bahkan membuatnya sendiri.

Oleh karena itulah, dalam setiap perlombaan atau kontes foto di dunia, disebutkan batasan khusus tentang batas mengedit foto yang diperbolehkan. Biasanya tidak diperkenankan untuk menambahkan obyek ke dalamnya (masuk wilayah digital imaging), perbaikan foto sebatar burninc, cropping, dan sejenisnya.

Baca juga : Makna Fotografi Bisa Berbeda : Tergantung Cara Pandang 

Jadi, karena mengedit foto – menurut saya (dan kebanyakan orang)- bukanlah perbuatan curang. maka seorang fotografer harus juga belajar mengedit foto. Hal itu akan membantunya menghasilkan foto yang lebih baik dari yang mampu dilakukan kameranya.

Dengan catatan, bukan sebuah keharusan. Bila sebuah foto sudah dianggap bagus oleh fotografernya, ya tidak perlu diedit.