Terkadang, Kita Harus Mengabaikan Semua Teori Fotografi

Membaca teori fotografi itu jelas banyak gunanya. Dengan mengetahu berbagai istilah, teknik pengambilan gambar yang baik, sudut pengambilan yang menguntungkan, seseorang bisa membuat fotonya terlihat menarik di mata orang.

Memang itu adalah fungsi dari teori, dimana apa yang pernah dipelajari, dianalisa, temudian ditemukan polanya, dan ditransfer kepada manusia lain dalam bentuk tulisan, secara visual, atau suara.

Teori itu sesuatu yang sangat berguna bagi perkembangan diri seseorang.

Meskipun demikian, pada prakteknya, terkadang teori-teori seperti itu “memberatkan”. Dalam artian membuat seseorang harus menyediakan waktu untuk berpikir , mengolah data yang ada dan kemudian menyesuaikan dengan teori yang sudah dipelajari.

Dan hal itu, dalam dunia fotografi jalanan, bisa menyebabkan sebuah masalah baru, yaitu kehilangan momen. Maklum saja, dunia fotografi jalanan sangat bergantung pada “penemuan” momen menarik yang terjadi secara acak. Sesuatu yang tidak akan terulang dua kali karena sifatnya tidak diatur.

Pertanyaan haruskah sebuah teori diikuti atau memaksakan diri menyesuaikan dengan situasi di lapangan.

Rupanya, si kribo cilik, putra semata wayang mengalami hal itu saat melakukan study tour beberapa waktu yang lalu. Hasil-hasil fotonya mencerminkan, bahwa ia mengalami kesulitan antara menyesuaikan antara teori yang diketahuinya dan apa yang terjadi di lapangan.

Foto “Spiderman joget” ini mencerminkan hal itu.

Pada foto terlihat bahwa ada bagian dari sang tokoh utama, manusia laba-laba genit tukang joget, yang kurang tajam. Padahal, seharusnya dengan menggunakan lensa 50 mm, jika settingnya tepat, obyek utamanya akan tajam sekali, meski menggunakan kamera APS-C Canon 700D.

Rupanya si spiderman yang bergerak terus menerus membuat sulit untuk mendapatkan fokus yang tepat. Apalagi, si lensa fix 50 mm memang sudah diketahui memiliki auto focus yang lamban.

Teorinya, dia harus mengganti lensa dengan yang memiliki auto-focus yang lebih cepat, si lensa zoom 55-250 mm. Tetapi, ia memutuskan untuk tetap menggunakan lensa yang ada.

Terkadang, Kita Harus Mengabaikan Semua Teori Fotografi

Sebuah keputusan yang tepat.

Hasilnya memang kurang maksimal, tetapi yang penting memang harus didahulukan. Kehilangan momen menarik akan lebih menyebalkan karena momen itu tidak bisa diulang. Berbeda dalam fotografi model dimana pose-pose bisa diulang, dalam fotografi jalanan, kalau sudah terlewat, ya lewat saja,

Jika si kribo memutuskan mengganti lensa, maka tidak akan ada foto yang dibawanya pulang. Tidak akan ada kenangan lucu melihat tingkah unik bin genit sang manusia laba-laba. Momen itu tidak akan bisa dilihat kembali.

Hal itu lebih penting daripada berpikir teoritis untuk menghasilkan gambar yang sempurna.

Penggantian lensa akan membuatnya bisa lebih cepat bereaksi terhadap obyek bergerak, tetapi waktu untuk mengganti lensa akan membuatnya melewatkan banyak momen. Beberapa detik berharga dalam hal ini.

Lagipula, meski hasilnya tidak sempurna, hasil tersebut tetap bisa menghadirkan senyum dari yang melihat. Mereka bisa ikut merasakan kegembiraan saat menonton festival di Museum Angkut Malang, dan tingkah lucu pemeran spidermannya.

Terkadang, Kita Harus Mengabaikan Semua Teori Fotografi

Dan bukankah itu salah satu fungsi fotografi? Mentransfer rasa dan apa yang dirasakan oleh fotografernya kepada orang lain?

Tentu bukan tidak perlu ada perbaikan. Dengan latihan yang lebih sering dan konsisten, ia bisa menemukan setting yang lebih tepat di masa depan saat menghadapi obyek yang sama.

Tetapi, untuk sementara ini, foto-foto spiderman joget ini setidaknya sudah melaksanakan fungsinya dengan baik.

Dan, hal itu terjadi, karena si kribo cilik memutuskan untuk mengabaikan teori fotografi dan lebih mengedepankan menangkap momennya saja.

Sebuah keputusan yang rasanya tepat.

Terkadang, Kita Harus Mengabaikan Semua Teori Fotografi

(Foto-foto karya si kribo cilik, Arya Fatin Krisnansyah di Museum Angkut , Malang)