Pamer, kata orangtua zaman dulu adalah salah satu bentuk ketidakbaikan, kesombongan. Oleh karena itu, mereka selalu mengajarkan anak-anaknya untuk rendah hati dan tidak suka pamer.
Sayangnya, zaman sudah berubah. Bukan berarti inti dari pepatah “semakin berilmu semakin merunduk” atau ilmu padi tidak berlaku lagi. Tetap saja, banyak orang akan memandang pamer sebagai sebuah bentuk kesombongan.
Tetapi, dalam beberapa hal pamer itu perlu, untuk melengkapi proses pembelajaran.
Salah satunya dalam dunia fotografi. Pamer bisa dikata adalah sebuah bentuk keharusan yang harus mau dilakoni para fotografer.
Suka atau tidak suka. Jika seorang fotografer ingin berkembang dan maju lebih jauh dari pencapaian saat ini, ia harus mau membuka diri dan bersiap dipandang sebagai orang sok pamer.
Mengapa?
Karena dengan memamerkan foto maka berarti kita akan mengundang reaksi dan komentar dari yang melihat. Tidak akan semua feedback akan berisi pujian atau “LIKE”, tetapi pasti diantaranya ada “kritikan” atau “cacican”.
Dua yang terakhir itulah yang harus mendapat perhatian lebih. Pujian atau LIKE tidak akan membuat kita maju dan belajar. Justru kehadirannya akan melenakan kita dan benar-benar membangkitkan kesombongan dalam diri.
Sedangkan kritikan atau cacian akan membuat kita marah dan lebih terpacu untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik lagi. Kita akan terus terdorong untuk menemukan “kelemahan” sehingga sebuah kritikan lahir dan cacian diungkapkan.
Masukan yang seperti ini akan sangat jauh dari membuat orang terlena.
Tidak akan enak mendengarnya, tetapi dengan begitu kita akan selalu terjaga dan tidak akan terlena. Kita akan berusaha terus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan.
Itulah alasan mengapa jangan pernah ragu memamerkan foto hasil karya sendiri. Asal jangan foto hasil karya orang lain karena hal itu berarti plagiat atau pencurian hak kekayaan intelektual dan tidak seharusnya dilakukan.