Mengenal Decisive Moment : Momen Puncak Yang Menentukan

“Decisive moment” adalah istilah yang sangat umum dikenal di kalangan penggemar fotografi, terutama mereka yang menggeluti genre fotografi jalanan.

Istilah yang memiliki “momen puncak yang menentukan” atau bisa juga “momen kulminasi” ini dicetuskan oleh seorang pria Perancis kelahiran tahun 1908, Henri Cartier Bresson. Ia dikenal sebagai pelopor genre Street Photography atau Fotografi Jalanan.

Apa itu decisive moment?

Agak sulit sebenarnya untuk menjelaskan dengan gamblang apa itu “decisive moment” karena pada prakteknya semua pemegang kamera “tidak berhitung” terlalu banyak saat mengambil foto. Mayoritas mengandalkan pada “insting” dan dorongan dari hati untuk menentukan kapan harus menekan tombol shutter release.

Tetapi, dalam konsep “decisive moment”, pertimbangan untuk menekan tombol shutter release seperti menjadi momen puncak dalam sebuah proses.

Sebagai contoh :

Kita melihat sebuah pemandangan indah dan seorang wanita cantik yang kalau dikombinasikan bisa menjadi sebuah foto yang memukau. Sayangnya, sang wanita terlihat diam saja, padahal dalam otak kita, rasanya akan lebih indah kalau sang wanita melangkahkan kaki sambil menunduk atau menggerakkan tangannya.

Kemudian kita menunggu dan berharap sang wanita akan mulai bergerak dan melakukan sesuatu. Ternyata ia kemudian berjalan dan menunduk. Saat itulah kita menekan tombol shutter release.

Itulah ilustrasi kasar dari “decisive moment”.

Sebuah saat dimana momen yang hadir di depan mata kita sesuai dan sejalan dengan ide yang ada di kepala.

Hal itu juga menjelaskan mengapa istilah ini lebih populer di dalam masyarakat fotografi jalanan atau sport atau alam. Dalam fotorgafi dengan memakai model, seperti pernikahan atau lainnya, sang fotografer bisa mengatur posisi latar belakang dan obyeknya. Sedangkan, seorang fotografer jalanan tidak akan mengatur obyek fotonya karena mereka menginginkan hasil yang senatural mungkin.

Hanya sepersekian detik

Kalau kita menggunakan model cantik berbayar, ataupun talent yang dengan sukarela menjadi obyek kamera, mereka akan mencoba melakukan berbagai gaya agar sesuai dengan ide yang ada di kepala sang fotografer. Momen-momen tersebut bisa diulang sampai titik temu antara semua yang ada di depan mata bisa bertemu dengan ide dan imajinasi.

Sayangnya dalam fotografi jalanan atau alam, kebanyakan obyeknya tidak bisa diatur. Bagaimana bisa diatur? Lha, kenal saja tidak. Belum lagi di alam liar singa atau tupai tidak kenal sama fotografernya.

Hasilnya, mirip seorang sniper, seorang fotografer harus bisa menentukan kapan “decisive moment” bagi kameranya. Rentang waktu yang tersedia untuknya kurang dari 1 detik.

Jika ia tidak menemukan “decisive moment” tersebut maka jari telunjuknya tidak akan menekan shutter release. Kalau terlambat, sang fotografer biasanya akan dirundung penyesalan yang lumayan dalam karena MOMEN TERSEBUT TIDAK BISA DIULANG.

Tidak mungkin menyuruh seorang yang tidak dikenal mengulanginya pose yang dilakukannya tadi. Selain karena tidak kenal, orang akan sulit mengulangi sesuatu yang dilakukannya secara naluriah tadi.

Momen tersebut akan hilang dan tidak pernah kembali.

Itulah yang disebut dengan decisive moment.

Pro dan kontra

Namanya dunia, kalau semua setuju tidak seru. Konsep decisive moment pak Henri Cartier Bresson ini juga mengundang perdebatan dan diskusi.

Kaum yang kontra mengatakan bagaimana mungkin untuk mengetahui bahwa sebuah momen itu adalah “puncak” atau “yang terbaik” dari berbagai momen yang ada. Tidak ada perbandingan antara semua itu karena mayoritas fotografer tidak akan memotret kalau dia rasa tidak pas.

Jadi, tidak ada perbandingan.

Belum lagi setelah memotret biasanya sang fotografer akan relax dan melepas kameranya karena sudah merasa tugasnya terpenuhi. Padahal besar kemungkinan ada yang lain yang lebih menarik. Karena kita sudah berhenti setelah mendapatkan “decisive moment” versi kita, maka kita tidak melihat ada “momen kulminasi” lain yang hadir.

Kaum yang pro, akan menjelaskan berdasarkan teori yang ada di atas.

Pilihan saya? Pro atau Kontra?

Kalau saya memilih untuk mengabaikannya saat memegang kamera. Berpikir terlalu rumit dan teoritis akan menghilangkan kesenangan dan kegembiraan saat memotret.

Saya baru akan berpikir tentang itu di saat sedang membaca atau menulis seperti sekarang.

Bagaimana dengan Anda?