Sebuah Foto Merekam Imajinasi Pemotretnya

Kalau ada orang yang mengatakan bahwa fotografer itu sering mengada-ada, mereka sama sekali tidak salah. Pada saat bersamaan mereka juga tidak 100% benar.

Pada dasarnya memang begitulah fotografi.

Apa yang sebenarnya dilihat oleh seseorang dari sebuah foto, sebenarnya tidak murni 100% gambaran aslinya. Di dalam foto tersebut ada bagian yang bukan berasal dari obyek fotonya sendiri. Bagian ini berasal dari diri si pemegang kamera, alias si fotografer.

Tepatnya, ada bagian dari foto yang merupakan hasil dari imajinasi sang pemotret. Ada sisi kreatif yang berbicara dan tercurah ke dalam karya fotonya.

Sebagai contoh, foto di atas ini, tentunya, saya, yang memotret bukanlah seorang yang buta warna sehingga semua menjadi terlihat hitam putih. Saya masih bisa membedakan warna dengan baik, walau sudah berkacamata.

Lagi pula, kalaupun saya buta warna, hal itu tidak membuat kamera yang dipergunakan menjadi ikut buta warna. Ia akan tetap menjadi kamera yang merekam apa saja yang ada di depannya sesuai arahan dari yang memegang kamera.

Imajinasi saya sajalah, yang menyukai gaya foto hitam putih seperti di atas. Mungkin karena, tokoh utamanya adalah seorang wanita tua, walau dengan gaya dan pakaian yang modern, saya memutuskan untuk merubah foto aslinya yang berwarna menjadi monochrome (hitam putih) saja.

Bahkan dalam foto sederhana, seperti foto keluarga atau foto-foto saat reuni, tetap saja sebuah foto tidak bisa lepas dari daya imajinasi sang pemotret. Kalau pemotretnya berganti, maka nuansanya akan berganti pula dan tidak akan sama.

Mau tidak mau, karena setiap manusia pasti berbeda. Begitu pula daya imajinasinya. Ada yang suka gaya yang “biasa” saja, ada yang suka agak “berseni”, dan ada pula yang suka penuh keceriaan.

Yang manapun, sebuah foto selain merekam momen, juga merekam penggalan imajinasi dari seseorang, yaitu si pemegang kamera.