Apa yang Anda lakukan dengan kamera yang Anda beli? Apakah Anda perlakukan sebagai jimat dan disimpan dalam te pat tertutup agar tidak cepat rusak? Atau kah Anda pergunakan untuk membuat sebuah karya seni? Atau kah hanya untuk menyenangkan diri sendiri dengan mencoba membuat sebuah karya artistik bak fotografer terkenal?
Jangan salah sangka.
Saya tidak akan mengutak-atik apapun yang Anda lakukan dengannya. Apapun itu sudah masuk wilayah pribadi yang tidak seorang pun bisa mengganggu gugat. Tidak juga saya.
Apa yang akan dituliskan dalam artikel ini hanyalah sebuah pandangan pribadi, sebuah hasil perenungan setelah beberapa lama membeli sebuah kamera prosumer, Fuji Finepix HS35EXR dua tahun lalu. Bukan sebuah kamera high-end tetapi harganya tetap membuat saya sempat memperlakukannya seperti benda pusaka.
Memang begitu adanya. Harganya yang melebihi 25% gaji yang diterima tiap bulan, sempat membuat saya seperti habis membeli mobil Ferrari.
Untungnya kebutuhan akan foto-foto bagi blog yang saya kelola dan kualitas foto yang dihasilkan oleh smartphone Xperia-M semakin menurun, memaksa agar si Finepix harus sering keluar.
Mau tidak mau. Blog Lovely Bogor yang saya kelola membutuhkan banyak foto dari Kota Hujan tersebut sebagai salah satu unsur pelengkap artikel. Kalau hanya mengandalkan lensa Xperia-M yang sudah penuh goresan, hasilnya kirang maksimal.
Jadilah “benda pusaka” itu harus keluar semakin sering.
Tidak begitu lama, tetangga yang sering melihat saya hunting foto pun menyadari kalau ada di antara mereka yang bisa menggunakan kamera. Apalagi mereka juga sudah melihat beberapa hasil karya di blog Lovely Bogor.
Seperti efek domino, sejak itu permintaan untuk menjadi fotografer untuk berbagai macam kegiatan di lingkungan rumah seperti dilimpahkan kepada saya. Meskipun beberapa tetangga memiliki kamera dari jenis yang lebih mahal sekalipun, mereka tetap mengandalkan saya untuk merekam momen-momen berbagai kegiatan di kompleks dimana saya tinggal. Terutama di saat Perayaan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus alias 17-an.
Rada malas sebenarnya untuk memenuhinya. Bukan karena sayang, tetapi lebih karena waktu hunting yang sudah sedikit harus dibagi pula.
Apalagi momen-momen yang harus difoto, pastilah itu itu saja. Sesuatu yang sudah saya lihat ratusan kali. Semuanya membosankan dan tidak menantang sama sekali.
Hanya kesadaran bahwa ada sebuah kewajiban sebagai makhluk sosial lah yang mendorong saya menerima “penugasan” tersebut.
Ternyata, saya salah!
Yah. Saya harus akui tentang hal itu.
Mengabadikan kegiatan-kegiatan di lingkungan rumah ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya.
Tidak membosankan.
Jauh dari itu.
Saya menemukan justru hal tersebut memberikan tantangan tersendiri. Tantangan yang sama besarnya dan menariknya dengan berburu foto orang tak dikenal di jalanan ala fotografi jalanan.
Tantanga itu adalah bagaimana cara membuat sebuah foto yang menarik dari sesuatu yang biasa saja.
Tidak ada yang istimewa dari sebuah pertandingan balap karung atau makan kerupuk. Setiap tahun saya melihatnya setiap 17 Agustus. Tidak ada yang berbeda.
Begitu juga, dengan tokoh-tokoh dalam fotonya. Semua adalah orang yang ditemui hampir setiap hari. Tidak ada adrenalin yang terpacu ketika melihat ivu-ibu dengan postur tubuh yang sudah jauh dari ideal.
How to make a good picture from something mundane like that? Bagaimana harus membuat foto-foto yang bisa menarik perhatian dari kesemua hal membosankan itu?
Itulah tantangannya.
Tidak mudah. Sama sekali tidak mudah.
Tidak sulit menarik perhatian penikmat foto kalau tokoh dalam kameranya seorang model beebadan sexy. Bahkan tanpa berbagai tehnik yang rumit, kemolekan tubuh sang model sudah akan menyedot perhatian.
Tetapi, bagaimana menampilkan sisi indah dari ibu-ibu yang badannya sudah melar dan jauh dari sempurna?
Ternyata, hal itu mendatangkan kegembiraan tersendiri bagi saya, si pemegang kamera.
Mau tidak mau, saya harus berpikir tentang caranya, koreografernya, posisi memotretnya, dan lain sebagainya. Sebisa mungkin penampilan mereka dibuat tidak seperti umumnya agar tidak sama dengan jutaan foto ala 17 Agustusan.
Paling tidak, hasilnya harus sedikit berbeda dengan mengedepankan keceriaan dalam fotonya.
Harus la yaw. Kalau perayaan 17-an tidak gembira, lalu tidak akan cocok dengan suasana nya.
Berbagai hal harus saya lakukan, mulai dari berpindah posisi, hingga meminta para model dadakan itu bergaya.
Tidak terasa.
Semua itu membuat saya tenggelam dalam kesibukan dan kesenangan dalam mengambil foto dari hal-hal yang membosankan tersebut.
O ya saya gembira.
Banyak teori yang selama ini hanya berupa tulisan atau kata-kata bisa dipraktekkan disini. Teori tentang bagaimana mengamati arah cahaya, background, sudut pengambilan gambar seperti ditantang untuk dikeluarkan.
Latihan dalam bentuk nyata.
Nyata karena hasilnya akan dinilai oleh mereka-mereka yang ada di foto. Tetangga-tetangga tentunya berharap saya bisa memberikan “lebih” dibandingkan kalau mereka yang melakukan.
Ruwet, tetapi menyenangkan. Tantangan memang harus dicari karena hal itu akan membawa kita melangkah ke level berikutnya. Tantangan membuat diri kita lebih baik dari sebelumnya.
Hasilnya?
Tidak sia-sia.
Meskipun jelas bukan foto-foto untuk kontes foto dan dengan tehnik tinggi, foto-foto yang dihasilkan membuat mereka memberikan senyum dan acungan jempol.
Mereka mengatakan tidak seperti yang biasa. Berbeda.
Entah apa maksudnya, tetapi memang sebenarnya ada beberapa trik sederhana yang saya pungut dari internet dan jalanan yang saya coba terapkan. Salah satunya adalah menghadirkan emosi pada fotonya. Bukan sekedar dokumentasi.
Dengan mencoba menangkap emosi kegembiraan ataupun membuatnya, fotonya tidak lagi hanya sekedar rekaman gambar kegiatan yang kaku dan tidak menarik.
Foto-foto itu menjadi lebih hidup dan ceria.
Mungkin. Mungkin karena itu menjadi terasa berbeda.
Terserah lah.
Apapun yang ada di benak mereka, saya tidak akan pernah tahu.
Yang terlihat di depan mata adalah tawa ketika melihat foto anak dan suami mereka terjatuh saat balap karung, gagal menggigit kerupuk yang tergantung, dan banyak hal lain yang sebenarnya hal yang sudah sering mereka saksikan.
Mereka menikmati momen-momen yang terekam oleh sang Fuji Finepix sambil tertawa dan bercanda. Bergembira bersama tidak berhenti hingga mereka melihat foto terakhir.
Bahkan beberapa hari setelah itu pun pembicaraan masih terus berlangsung. Foto-foto itu masih beredar via Whatsapp atau tampil di wall Facebook.
Ucapan terima kasih pun bertubi-tubi diucapkan.
Menyenangkan.
Sangat menyenangkan.
Bukan hanya saya bergembira telah memiliki kesempatan membuktikan kemampuan, mempraktekkan berbagai tehnik, tetapi saya mempelajari satu hal lainnya.
Satu hal yang akhirnya tergambar jelas di depan mata.
Ternyata kamera bisa dipergunakan untuk berbagi kegembiraan. Memang bukan dalam sebuah lomba berhadiah jutaan, bukan dalam kontes besar-besaran, tetapi tetap saja melihat orang tersenyum dan bergembira adalah sesuatu yang terasa sangat menyenangkan.
Apalagi bila saya adalah sang pemegang kamera.